Orangtua
memang perlu waspada bila anak laki-laki terlihat “kemayu”, dengan mengobservasinya
terbukti lebih efektif.
Menurut Reynitta Poerwito,
Bach. of Psych., M.Psi. , anak
laki-laki kemayu, sensitif, atau perasa belum tentu homoseksual. Anak perempuan
tomboi, cuek, dan lebih kasar dibandingkan anak perempuan lain pun belum tentu
lesbian.
Psikolog dari RS Eka Hospital BSD ini juga menuturkan, “Hal
itu berhubungan dengan gender dan tergantung bagaimana orangtua membentuk
anaknya.” Karakter orangtua juga berpengaruh. “Jika orangtuanya sensitif,
terdapat 50 persen kemungkinan anaknya akan sensitif dan jangan mengharapkan
anak itu cuek,” ujarnya.
Soal gender,
Reynitta menggambarkan bahwa seorang ibu lebih dominan dalam mengajarkan
feminin, kelembutan, dan kasih sayang. Sementara Sang Ayah lebih mengajarkan
perilaku aktif. “Di situlah letak pembentukan gender feminin dan maskulin bagi
Si Anak.”
Observasi
Dulu
Zaman dulu, anak laki-laki pasti disuruh main bola atau
mobil-mobilan dan anak perempuan bermain boneka atau masak-masakan. Untung
saja, orangtua zaman sekarang lebih terbuka. Buktinya, “Dulu, anak laki-laki
yang menangis, sensitif, atau perasa pasti dilarang dan dimarahi. Sekarang,
kondisi tersebut lebih dimengerti orangtua,” papar Reynitta.
Nah, menurut Reynitta, terdapat dua faktor yang menyebabkan
anak bersikap kemayu atau tomboi. Pertama, pengaruh faktor fisik (hormon) dan
kedua, faktor psikologis (lingkungan). “Jika menyangkut masalah fisik, memang
harus diserahkan ke psikiater dan psikolog. Tujuannya, untuk ditelaah sejauh
mana anak-anak mendapatkan pola asuh dan berinteraksi dengan lingkungan dan
teman-teman.”
Penilaian terhadap kondisi fisik anak ini berdasarkan
pengalaman, pengetahuan, dan pengamatan. “Misalnya, cara berjalan. Anak
laki-laki melenggak-lenggok biasanya dianggap ‘melambai’. Atau, kalau minum
jari kelingkingnya melentik seperti penari.” Ada, kan, yang menganggap hal
tersebut biasa saja?
Nah, meski begitu, tanda-tanda tersebut patut diwaspadai
orangtua. Caranya, lakukan observasi. Toh, orangtua memang bertugas mengetahui
tumbuh kembang anak. Observasi juga lebih membantu sebab orangtua tak mungkin
bertanya langsung kepada anak. Pasalnya, Si Anak bisa saja tak menyadari hal
ini. “Kejanggalan ini hanya bisa dilihat dari perilakunya. Orangtua juga harus
bisa membaca ketidaknyamanan anak laki-laki kenapa ia tidak main dengan teman
sejenisnya dan malah nyaman dengan lawan jenis.”
Bisa
Dibentuk
Lalu, seberapa jauh lingkungan memperbolehkan Si Anak
berperilaku demikian? “Kalau anak sampai dicibir, pasti ia akan merasa
lingkungannya ketat. Tapi, kalau agak longgar juga akan memengaruhi intensitas
perkembangan kemayu atau tomboinya,” ujar Renita.Namun apa pun reaksi
lingkungan, “Jangan sekali-kali melabeli anak dengan sebutan
homoseksual.”
Pola asuh juga berpengaruh dalam pembentukan pola tumbuh
kembang karakter anak. “Pola asuh menjadi faktor terpenting dan terbesar dalam
mendidik anak. Bagaimana sharing
(berbagi) dengan mereka, mengajarkan bermain, belajar, dan menerapkan
disiplin akan berpengaruh saat dia dewasa kelak.”
Misalnya, anak hanya melihat ibunya masak, dan mencuci,
sementara Sang Ayah kurang berperan dalam tumbuh kembangnya. “Dia pun tidak
mengenal bermain bola atau berenang dengan bapaknya. Jadi, jangan salahkan anak
jika tidak mengetahui semua itu. Kan, orangtua tidak mengajarkan,” tegas
Reynitta.
Padahal, semua hal ini bisa diajarkan dari dini. “Anak
perempuan yang dilahirkan cuek bisa diajarkan menjadi lebih perhatian, peduli
dengan orang lain, dan lembut layaknya perempuan. Energi dan sikapnya bisa
dibentuk, kok. Begitu juga anak laki-laki. Asalkan tidak lepas dari observasi
orangtuanya.”
Hindari
Memaksa
Kalau sudah mengetahui kondisi anak, orangtua disarankan
jangan menyalahkan atau menghakimi. Bila orangtua malah melakukan hal tersebut,
anak akan makin menjauh dan bingung. “Apalagi keadaan itu bukan kemauan anak.
Tapi, karena ada sesuatu yang kurang stabil dalam fisik dan hormonnya.”
Sebaiknya, orangtua melakukan pendekatan ke anak. Misalnya, ”Ibu lihat kamu
lebih banyak main dengan anak perempuan. Memang ngapain aja , sih? Memang kamu enggak suka main dengan Raffa, Kienan,
atau Atha, ya?”
Tanya dan gali terus sebab anak yang masih kecil (SD)
biasanya menjawab dengan jujur dan apa adanya. “Tapi, setelah usia itu (SMP dan
seterusnya) sudah ada yang ditutupi. Nah, orangtua harus tahu apakah anak
mengarah ke orientasi seksual sesama jenis atau tidak?” Nah, setelah ia
menjawab, sebaiknya jangan ditanya lagi dan jangan terlalu memaksakan anak
sesuai dengan harapan orangtua.
Apabila diperlukan, tanyakan masalah ini kepada dokter anak,
psikiater, atau psikolog karena itu akan lebih membantu. “Ada pasien perempuan
saya yang dikira lesbian oleh ibunya. Tapi, ternyata dia memang nyaman bergaul
dengan lawan jenisnya. Jadi, orangtua harus mengukur apakah anak masih dalam
zona nyaman atau sudah perlu penanganan lebih lanjut.”
Reynitta menegaskan, masalah ini harus ditangani sedini
mungkin supaya tidak makin kronis. “Pola asuh pasti berpengaruh, tapi belum ada
penelitian mengenai seberapa besar pengaruhnya ke arah kemayu,” ujar Reynita.
Ia juga mengingatkan, tidak ada pedoman mendidik anak hingga orangtua harus
mencoba terus-menerus. “Tak ada yang sempurna, karena karakter anak bervariasi
dan pasti pola asuh pun akan berbeda-beda.”
Terima Apa
Adanya
Memang sulit
rasanya bila ternyata anak memiliki orientasi seksual yang berbeda dari harapan
orangtua. “Pasti orangtua mendambakan tumbuh kembang anak normal serta sesuai
agama dan adat. Tapi, itu bukan pilihan mereka (anak, Red.),” ujar Reynitta.
Marah atau
tidak menerima kondisi ini pun tidak akan mengubah situasi. “Biasanya,
anak-anak butuh dukungan orangtua karena mereka berharap orangtua akan mengerti
dan menerima jati diri mereka. Jadi, meski sulit dan berat, dukung mereka.”
Apalagi, banyak remaja yang belum berani atau masih
kebingungan dalam mengungkapkan fakta ini. “Keberanian mengutarakan itu akan
datang setelah mereka mau menerima diri sendiri. Lalu, maju satu langkah lagi
sampai mereka bilang tidak peduli kalau orangtuanya mengusir.”
Dan, ketika orangtua
sudah lewat masa shock -nya, terimalah kondisi anak apa adanya. “Tanpa dukungan
orangtua, anak ibarat lepas di dunia yang asing. Untung kalau dia bertemu orang
yang bisa berkomunikasi. Bagaimana kalau tidak?” tandas Reynitta.
Pemerintah berikan insentif tambahan dana bisa baca di
BalasHapushttps://www.cekaja.com/info/cara-cek-blt-rp600-ribu/