Free Hello Kitty ani Cursors at www.totallyfreecursors.com

Sabtu, 14 Desember 2013

Deteksi Dini Perkembangan Anak


Orangtua memang perlu waspada bila anak laki-laki terlihat “kemayu”, dengan mengobservasinya terbukti lebih efektif.

Menurut Reynitta Poerwito, Bach. of Psych., M.Psi. , anak laki-laki kemayu, sensitif, atau perasa belum tentu homoseksual. Anak perempuan tomboi, cuek, dan lebih kasar dibandingkan anak perempuan lain pun belum tentu lesbian. 

Psikolog dari RS Eka Hospital BSD ini juga menuturkan, “Hal itu berhubungan dengan gender dan tergantung bagaimana orangtua membentuk anaknya.” Karakter orangtua juga berpengaruh. “Jika orangtuanya sensitif, terdapat 50 persen kemungkinan anaknya akan sensitif dan jangan mengharapkan anak itu cuek,” ujarnya. 

Soal gender, Reynitta menggambarkan bahwa seorang ibu lebih dominan dalam mengajarkan feminin, kelembutan, dan kasih sayang. Sementara Sang Ayah lebih mengajarkan perilaku aktif. “Di situlah letak pembentukan gender feminin dan maskulin bagi Si Anak.”
 

Observasi Dulu 

Zaman dulu, anak laki-laki pasti disuruh main bola atau mobil-mobilan dan anak perempuan bermain boneka atau masak-masakan. Untung saja, orangtua zaman sekarang lebih terbuka. Buktinya, “Dulu, anak laki-laki yang menangis, sensitif, atau perasa pasti dilarang dan dimarahi. Sekarang, kondisi tersebut lebih dimengerti orangtua,” papar Reynitta.

Nah, menurut Reynitta, terdapat dua faktor yang menyebabkan anak bersikap kemayu atau tomboi. Pertama, pengaruh faktor fisik (hormon) dan kedua, faktor psikologis (lingkungan). “Jika menyangkut masalah fisik, memang harus diserahkan ke psikiater dan psikolog. Tujuannya, untuk ditelaah sejauh mana anak-anak mendapatkan pola asuh dan berinteraksi dengan lingkungan dan teman-teman.”  

Penilaian terhadap kondisi fisik anak ini berdasarkan pengalaman, pengetahuan, dan pengamatan. “Misalnya, cara berjalan. Anak laki-laki melenggak-lenggok biasanya dianggap ‘melambai’. Atau, kalau minum jari kelingkingnya melentik seperti penari.” Ada, kan, yang menganggap hal tersebut biasa saja? 

Nah, meski begitu, tanda-tanda tersebut patut diwaspadai orangtua. Caranya, lakukan observasi. Toh, orangtua memang bertugas mengetahui tumbuh kembang anak. Observasi juga lebih membantu sebab orangtua tak mungkin bertanya langsung kepada anak. Pasalnya, Si Anak bisa saja tak menyadari hal ini. “Kejanggalan ini hanya bisa dilihat dari perilakunya. Orangtua juga harus bisa membaca ketidaknyamanan anak laki-laki kenapa ia tidak main dengan teman sejenisnya dan malah nyaman dengan lawan jenis.” 

Bisa Dibentuk
 
Lalu, seberapa jauh lingkungan memperbolehkan Si Anak berperilaku demikian? “Kalau anak sampai dicibir, pasti ia akan merasa lingkungannya ketat. Tapi, kalau agak longgar juga akan memengaruhi intensitas perkembangan kemayu atau tomboinya,” ujar Renita.Namun apa pun reaksi lingkungan, “Jangan sekali-kali melabeli anak dengan sebutan homoseksual.” 

Pola asuh juga berpengaruh dalam pembentukan pola tumbuh kembang karakter anak. “Pola asuh menjadi faktor terpenting dan terbesar dalam mendidik anak. Bagaimana sharing  (berbagi) dengan mereka, mengajarkan bermain, belajar, dan menerapkan disiplin akan berpengaruh saat dia dewasa kelak.” 

Misalnya, anak hanya melihat ibunya masak, dan mencuci, sementara Sang Ayah kurang berperan dalam tumbuh kembangnya. “Dia pun tidak mengenal bermain bola atau berenang dengan bapaknya. Jadi, jangan salahkan anak jika tidak mengetahui semua itu. Kan, orangtua tidak mengajarkan,” tegas Reynitta.

Padahal, semua hal ini bisa diajarkan dari dini. “Anak perempuan yang dilahirkan cuek bisa diajarkan menjadi lebih perhatian, peduli dengan orang lain, dan lembut layaknya perempuan. Energi dan sikapnya bisa dibentuk, kok. Begitu juga anak laki-laki. Asalkan tidak lepas dari observasi orangtuanya.” 

Hindari Memaksa
 
Kalau sudah mengetahui kondisi anak, orangtua disarankan jangan menyalahkan atau menghakimi. Bila orangtua malah melakukan hal tersebut, anak akan makin menjauh dan bingung. “Apalagi keadaan itu bukan kemauan anak. Tapi, karena ada sesuatu yang kurang stabil dalam fisik dan hormonnya.” Sebaiknya, orangtua melakukan pendekatan ke anak. Misalnya, ”Ibu lihat kamu lebih banyak main dengan anak perempuan. Memang ngapain aja , sih? Memang kamu enggak suka main dengan Raffa, Kienan, atau Atha, ya?”

Tanya dan gali terus sebab anak yang masih kecil (SD) biasanya menjawab dengan jujur dan apa adanya. “Tapi, setelah usia itu (SMP dan seterusnya) sudah ada yang ditutupi. Nah, orangtua harus tahu apakah anak mengarah ke orientasi seksual sesama jenis atau tidak?” Nah, setelah ia menjawab, sebaiknya jangan ditanya lagi dan jangan terlalu memaksakan anak sesuai dengan harapan orangtua.
Apabila diperlukan, tanyakan masalah ini kepada dokter anak, psikiater, atau psikolog karena itu akan lebih membantu. “Ada pasien perempuan saya yang dikira lesbian oleh ibunya. Tapi, ternyata dia memang nyaman bergaul dengan lawan jenisnya. Jadi, orangtua harus mengukur apakah anak masih dalam zona nyaman atau sudah perlu penanganan lebih lanjut.” 

Reynitta menegaskan, masalah ini harus ditangani sedini mungkin supaya tidak makin kronis. “Pola asuh pasti berpengaruh, tapi belum ada penelitian mengenai seberapa besar pengaruhnya ke arah kemayu,” ujar Reynita. Ia juga mengingatkan, tidak ada pedoman mendidik anak hingga orangtua harus mencoba terus-menerus. “Tak ada yang sempurna, karena karakter anak bervariasi dan pasti pola asuh pun akan berbeda-beda.”

Terima Apa Adanya
 
Memang sulit rasanya bila ternyata anak memiliki orientasi seksual yang berbeda dari harapan orangtua. “Pasti orangtua mendambakan tumbuh kembang anak normal serta sesuai agama dan adat. Tapi, itu bukan pilihan mereka (anak, Red.),” ujar Reynitta.

Marah atau tidak menerima kondisi ini pun tidak akan mengubah situasi. “Biasanya, anak-anak butuh dukungan orangtua karena mereka berharap orangtua akan mengerti dan menerima jati diri mereka. Jadi, meski sulit dan berat, dukung mereka.”

Apalagi, banyak remaja yang belum berani atau masih kebingungan dalam mengungkapkan fakta ini. “Keberanian mengutarakan itu akan datang setelah mereka mau menerima diri sendiri. Lalu, maju satu langkah lagi sampai mereka bilang tidak peduli kalau orangtuanya mengusir.” 

Dan, ketika orangtua sudah lewat masa shock -nya, terimalah kondisi anak apa adanya. “Tanpa dukungan orangtua, anak ibarat lepas di dunia yang asing. Untung kalau dia bertemu orang yang bisa berkomunikasi. Bagaimana kalau tidak?”  tandas Reynitta.

1 komentar: