BAB I
PENDAHULUAN
- A. Permasalahan
Depresi
adalah suatu jenis alam perasaan atau emosi yang disertai komponen psikologis,
seperti rasa susah, murung, sedih, putus asa dan tidak bahagia, serta komponen
somatik: anoreksia, konstipasi, kulit lembab (rasa dingin), tekanan darah dan
denyut nadi sedikit menurun. Menurut Walker & Robert (1992), depresi dapat
dilihat dari simptom-simptom yang ditunjukkan atau diperlihatkan.
Simptom-simpton tersebut bersifat patologis, mengganggu keseharian seseorang
dalam melakukan aktivitas hidupnya.
Sindrom
depresi pada anak-anak didapat dengan melakukan modeling pada orang dewasa.
Kemudian depresi anak yang tidak terselesaian maka akan terbawa hingga remaja,
atau bahkan dewasa. Kovacs dan Beck (1977; dalam Wenar, 1994), menyatakan
perilaku depresi pada orang dewasa berasal dari depresi pada anak-anak yang di-repress.
Ada bukti bahwa konstelasi gejala depresi didefinisikan dengan tergantung pada
umur dan jenis kelamin yang berbeda. Pada anak-anak yang lebih tua dengan
gejala-gejala yang lebih berat, ada kemungkinan yang lebih besar mengalami
bunuh diri dan kehilangan ketertarikan akan kesenangan (anhedonia) (Kazdin, 1989a,
1990; dalam Wenar, 1994).
Ada
pertanyaan apakah depresi di masa kanak-kanak menengah dapat dianggap sama
dengan depresi yang dialami orang dewasa atau apakah status perkembangan anak
membutuhkan modifikasi dan, bagaimana modifikasi dilakukan serta menggunakan
jenis apa (Carlson & Gerber, 1986; lihat Wenar, 1994).
- B. Batasan Masalah
Makalah
ini membahas mengenai masalah depresi pada anak secara keseluruhan. Yaitu
menjelaskan mengenai pengertian depresi, diagnosis perilaku depresi, prevalensi,
kormobiditas, etiologi, asesmen, dan penanganan perilaku depresi. Kemudian
terdapat contoh kasus depresi pada anak untuk dibahas dan dianalisis lalu
diberikan alternatif penanganan yang harus dilakukan.
- C. Tujuan
Untuk
mengetahui informasi mengenai pengertian, diagnosis, prevalensi, kormobiditas,
etiologi, asesmen, dan intervensi perilaku depresi. Dapat mengaplikasikannya ke
dalam sebuah kasus masalah dan dapat melakukan analisis serta menentukan
kegiatan penanganan yang tepat sesuai dengan kasus yang ada.
- D. Manfaat
Memberikan
informasi secara keseluruhan mengenai depresi anak, meliputi pengertian,
diagnosis, prevalensi, kormobiditas, etiologi, asesmen, dan intervensi perilaku
depresi. Adanya informasi yang menyeluruh mengenai gangguan perilaku depresi
diharapkan bermanfaat dalam upaya mengaplikasikan informasi tersebut ke dalam
dunia nyata.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
- A. Pengertian
Depresi
adalah suatu gangguan suasana perasaan yang dapat dilihat dari simptom-simpton yang
ditunjukkan (sedih atau depressed mood) yang dapat mengganggu perilaku
sehari-hari dan bukan merupakan suatu penyakit, namun bersifat patologis
(Walker & Robert, 1992). Depresi, seperti kecemasan dan kemarahan, adalah
fenomena yang biasa dialami oleh kebanyakan orang. Psikopatologi ini merupakan
masalah mengenai intensitas, ketekunan, dan memiliki prognosis yang buruk dalam
kasus-kasus ringan serta diikuti dengan perilaku yang tidak tepat dan aneh
dalam kasus ekstrim. Kesedihan atau depresi mempengaruhi gejala tunggal, di
mana depresi dapat dibedakan sebagai sindrom, yaitu gejala kompleks yang
memiliki etiologi spesifik, khusus, hasil, dan respon terhadap pengobatan,
bersama dengan karakteristik psikologis, kekeluargaan, dan korelasi biologis
(Wenar, 1994).
Sindrom
depresi pada anak-anak didapat dengan melakukan modeling pada orang dewasa.
Melibatkan perubahan dalam empat bidang: mempengaruhi, motivasi, fungsi fisik
dan motorik, serta kognisi (Kazdin, 1990; dalam Wenar, 1994). Ada bukti bahwa
konstelasi gejala depresi didefinisikan dengan tergantung pada umur dan jenis
kelamin yang berbeda. Pada anak-anak yang lebih tua dengan gejala-gejala yang
lebih berat, ada kemungkinan yang lebih besar mengalami bunuh diri dan
kehilangan ketertarikan akan kesenangan (anhedonia) (Kazdin, 1989a, 1990; dalam
Wenar, 1994).
Kovacs
dan Beck (1977; dalam Wenar, 1994), menyimpulkan bahwa banyak perilaku
menunjukkan bahwa depresi pada orang dewasa berasal dari depresi pada
anak-anak: emosional (merasa sedih, menangis, tampak menangis), motivasi
(prestasi sekolah menurun, tidak menunjukkan minat bermain), fisik (hilangnya
nafsu makan, keluhan somatik yang tidak nyata), dan kognitif (mengantisipasi
kegagalan). Penelitan juga menunjukkan bahwa depresi pada anak-anak memiliki
keragaman temporal yang sama dengan depresi orang dewasa.
- B. Klasifikasi
- C. Diagnosis
Anak
yang mengalami depresi akan kehilangan minatnya terhadap sesuatu, selain itu ia
juga selalu menyalahkan diri sendiri dan tidak memiliki impian di masa depan.
Anak mungkin juga merasa sedih atau marah. Mereka juga akan mengalami kesulitan
konsentrasi ketika di sekolah. Anak cenderung kurang energi dan mengalami
gangguan tidur. Hal yang paling mengerikan adalah pikiran untuk mencoba bunuh
diri (Hazel, 2002).
Kriteria
diagnosa gangguan depresi pada anak-anak dan dewasa adalah sama (Ball, Rice,
& Thapar, 2000), yaitu:
-
Perasaan tertekan
-
Kehilangan minat dan kegembiraan
-
Meningkatnya kelelahan dan kehilangan energi
-
Perubahan pola tidur, biasanya insomnia tetapi kadang kadang terlalu banyak
tidur
-
Perubahan nafsu makan
-
Lambat dalam berfikir dan gerak tubuh atau agitasi
-
Perasaan tidak berharga dan perasaan bersalah
-
Penurunan self esteem dan kepercayaan diri
-
Pesimis pada masa depan
-
Berkurangnya konsentrasi dan atensi
-
Pikiran atau perilaku bunuh diri
Untuk
menegakkan diagnosa tersebut, paling tidak memenuhi 2 dari gejala utama dan
muncul minimum selama 2 minggu. Selain kriteria tersebut, biasanya anak yang
mengalami depresi disertai dengan keluhan somatis seperti mual, irritability,
dan difficult behavior (Ball, Rice, & Thapar, 2000).
Diagnosa
DSM-IV
DSM-IV
memberikan empat kategori utama untuk mendiagnosa depresi, dengan beberapa
kriteria (Wenar & Kerig, 2008).
- a. DSM-IV-TR Criteria for Adjusment Disorder with Depressed Mood
-
Gejala yang berkembang seperti perasaan tertekan, tidak ada harapan, yang
terjadi selama 3 bulan.
-
Perilaku dari gejala yang muncul signifikan dengan bukti-bukti klinis
-
Gangguan stres bukan merupakan penyakit mental
-
Gejala tidak menimbulkan kehilangan
- DSM-IV-TR Criteria for Dysthymic Disorder
-
Mood depressed lebih kurang terjadi pada subjek selama 2 tahun, pada
anak dan remaja selama 1 tahun.
-
Dapat terlihat 2 atau lebih dari gejala berikut:
- Makan berlebihan
- Insomnia atau hypersomnia
- Kurang bersemangat
- Harga diri rendah
- Kurangnya konsentrasi atau sulit memecahkan masalah
- Perasaan atau kurangnya harapan
-
Gangguan terjadi selama 2 tahun periode (pada anak dan remaja 1 tahun)
-
Tidak ada gejala utama episode depresi yang muncul selama 2 tahun pertama (
untuk anak dan remaja 1 tahun)
-
Tidak ada manic episode atau hypomanic episode
- DSM-IV-TR Criteria for Major Depressive Episode
-
Lima atau lebih gejala yang muncul selama 2 minggu berturut-turut dan
menimbulkan perubahan dari fungsi sebelumnya, paling tidak 1 dari gejala mood
depressed atau 2 dari gejala kehilangan kesenangan atau tertarik
terhadap sesuatu.
- Perasaan tertekan hampir dialami setiap hari
- Kehilangan ketertarikan atau kesenangan hampir setiap hari
- Perubahan yang signifikan terhadap berat badan, bisa naik bisa juga turun.
- Kesulitan tidur hampir setiap hari
- Keterlambatan dalam hal psikomotorik
- Kekurangnya energi, kurang bersemangat hampir setiap hari
- Perasaan tidak berharga dan merasa bersalah
- Kurangnya kemampuan berkonsentrasi
- Berulang kali ingin bunuh diri
-
Gejala yang muncul tidak memberikan efek pengganti atau kondisi medis.
- D. Prevalensi
Dalam
suatu studi di United States and Canada ditemukan, 10 − 20% laki-laki dan 15 −
20% perempuan dalam populasi mengalami periode mood depressed (Wenar
& Kerig, 2000). Ketika depresi terlihat sebagai suatu gangguan, prevalensi
menjadi lebih berkurang. Gangguan depresi jarang terjadi pada usia sebelum
sekolah (preschool), sedikit terjadi pada middle childhood, dan
paling banyak saat remaja (Wenar & Kerig, 2008).
Penelitian
melaporkan bahwa proporsi peluang terjadinya depresi antara anak laki-laki dan
perempuan. Tingkat depresi pada anak perempuan lebih besar, dengan rasio sex
2:1 (Ball, Rice, & Thapar, 2000).
- E. Kormobiditas
40-70%
dari depresi pada anak dan remaja memiliki sedikitnya satu gangguan lain
(Cicchetti & Toth, 1998; dalam Wenar & Kerig, 2008). Gejala dari
kecemasan dan depresi menunjukkan korelasi yang tinggi, 60 − 75% anak yang
depresi memiliki komorbiditas dengan gangguan kecemasan. Komorbiditas gangguan
depresi dapat terjadi dengan gangguan lainnya, selama masa perkembangan anak
sehingga menjadi “double depression.” Kombinasi antara dysthymia
dan major depression yang saling berasosiasi sehingga menghasilkan hasil
yang negatif (Wenar & Kerig, 2008).
14-36%
depresi pada laki-laki dapat menjadi conduct disorder dan perlawanan
seperti perilaku agresif antisosial (Mitchell et al., 1988; dalam Wenar &
Kerig, 2008). Komorbiditas conduct disorder dan aggression
berasosiasi dengan banyak hasil negatif (Harrington et al., 1991). Anak dengan depressive
conduct disorder lebih depresi dan kurang agresif daripada conduct
disorder (Wenar & Kerig, 2008).
Perbedaan
gender
Pada
anak perempuan biasanya depresi disertai dengan kecemasan, sedangkan pada anak
laki-laki diasosiasikan dengan perilaku mengacaukan, termasuk ADHD dan CD
(Kessler, Avenevoli & Merikangas, 2001; dalam Wenar & Kerig, 2008).
Perbedaan
usia
Depresi
pada masa preschool tidak menunjukkan adanya kegelisahan, pada masa
sekolah bisa terjadi dengan conduct disorder, dan depresi pada remaja
dapat terlihat misalnya perilaku penyalahgunaan atau gangguan makan (Wenar
& Kerig, 2008).
- F. Etiologi
Proses
etiologi yang mendasari terjadinya depresi pada anak-anak tidak jelas. Namun,
ada bukti kuat bahwa depresi berjalan dalam keluarga. Anak yang lahir dari
orang tua yang depresi menunjukkan peningkatan resiko depresi dua sampai empat
kali lipat dibandingkan dengan anak-anak yang lahir dari orang tua tanpa
depresi. Demikian pula, orang dewasa yang memiliki kerabat depresi, menunjukkan
peningkatan tingkat gangguan depresi. Faktor genetik ditemukan memiliki
pengaruh terhadap etiologi depresi. Dari penelitian keluarga dan anak kembar
ditemukan bahwa kontribusi faktor genetik meningkat seiring usia, dan genetik
merupakan faktor penting pada depresi remaja, sedangkan depresi pada anak kecil
lebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Ball, Rice, & Thapar, 2000).
Selain
faktor genetik, faktor psikososial ditengarai menyumbang faktor resiko pada
depresi anak. Ada hubungan yang signifikan antara stres hidup seperti
perceraian orang tua dengan depresi anak. Kurangnya dukungan sosial yang
memadai dan konflik keluarga juga telah terbukti berkaitan dengan gangguan
depresi pada anak-anak, dan ini digabungkan dengan peristiwa kehidupan yang
signifikan, mungkin mempengaruhi seorang anak untuk depresi. Hal ini juga
penting mengingat bahwa anak-anak dengan kondisi fisik seperti kanker, gangguan
endokrin, epilepsi, asma dan gangguan usus iritasi juga dapat mengembangkan
depresi. Obat-obatan, seperti prednisolone dan cortison dan
pengobatan terkait, juga dapat meningkatkan resiko depresi (Ball, Rice, &
Thapar, 2000). Menurut Wenar & Kerig (2008), etiologi depresi pada anak,
yaitu:
- Biologis
-
Faktor genetik
Anak-anak,
remaja, dan dewasa yang memiliki hubungan dekat dalam artian keluarga dan sanak
saudara memiliki resiko tinggi dalam kaitannya dengan depresi, dengan
persentase 20 − 45%. Biarpun begitu, secara sederhana dapat dilihat bahwa
depresi juga dapat terjadi karena faktor keturunan dan juga lingkungan.
Faktanya, kecendurungan faktor genetik muncul tidak spesifik pada depresi,
tetapi lebih pada adanya gangguan termasuk kecemasan (anxiety) dan
fobia.
-
Neurochemistry
Menurut
teori, seseorang yang mengalami depresi kadar serotonin dalam
neurotarnsmitternya mengalami penekanan. Pengobatan dengan anti depresan akan
meningkatkan kadar serotonin tersebut. Pengobatan tersebut terbukti efektif
dalam mengatasi depresi pada remaja.
-
Struktur otak dan fungsinya
Sebuah
penelitian otak menjelaskan bahwa depresi berkaitan dengan pergerakan dari hemisphere
kiri yang lambat. Hemisphere kiri menunjukkan pergerakan yang lebih
meliputi proses yang mempengaruhi secara positif, ketika terjadi underactivated,
hemisphere kanan akan lebih aktif dan mambangkitkan berlebihan serta
mempengaruhi secara negatif.
- Individu
-
Perhatian
Seorang
anak yang proses internalisasi dalam dirinya dapat dikatakan gagal, di mana
kurangnya rasa kasih sayang dalam perkembangannya juga akan mempengaruhi
kognitif, emosional, dan proses biologisnya yang dikaitkan dengan depresi.
Blatt (2004; Blatt & Homann, 1992; dalam Wenar & Kerig, 2008)
mengemukakan tentang attachment theory yang dikaitkan dengan depresi,
yaitu:
- 1. Dependent or analitic depression
Merupakan
karakteristik yang berupa perasaan dari kesendirian dan ketidakberdayaan karena
takut ditinggalkan. Anak dengan depresi ini memiliki hubungan atau kelekatan
yang sangat kuat dengan orang tuanya dan perlu adanya perhatian dan pengasuhan.
- 2. Self critical or introjective depression
Karakteristik
berupa perasaan tidak berharga, rendah, merasa gagal, dan bersalah. Anak dengan
karakteristik ini memiliki pendirian yang kuat, takut untuk mendapat kritikan
dari orang lain, perfeksionis, dan khawatir tidak dimaafkan oleh orang lain.
-
Perspektif kognitif
Model
kognitif ini berpusat pada cognitive triad, yang terdiri dari
ketidakberhargaan (“aku tidak baik”) yang ditandai dengan rendahnya tingkat
harga diri, ketidakberdayaan (“aku tidak bisa berbuat apa-apa”) yang dijelaskan
dengan konsep self efficacy di mana anak tidak cukup berani untuk menunjukkan
kemampuannya dan sedikit pengalaman, dan keputusasaan (“ini akan selalu seperti
ini”) (Wenar & Kerig, 2008).
Cognitive
schemata yang
negatif memberikan pengaruh tidak hanya keadaan sekarang saja tetapi juga masa
yang akan datang pada anak. Schemata adalah keadaan mental yang stabil
dalam hal ini persepsi pada anak terhadap dirinya, pengalamannya masa lalu, dan
harapan di masa yang akan datang (Dodge, 1993; dalam Wenar & Kerig, 2008).
-
Perkembangan emosional
Depresi
tidak hanya terjadi pada anak yang memiliki kemampuan meniru yang rendah
termasuk adanya masalah dalam dirinya, tetapi mereka juga sulit dalam
menunjukkan emosinya sehingga berpotensi terjadinya stress (Rudolph et al.,
1994; Zahn-Waxler, Klimes-Dougan, & Slattery, 2000; dalam Wenar &
Kerig, 2008). Faktor yang dapat mempengaruhi emosi pada anak misalnya, pola
interaksi orang tua pada anak juga keterlibatannya terutama yang cukup
berpengaruh adalah depresi pada ibu (Wenar & Kerig, 2008).
- Keluarga
-
Families of Depressed Children
Emosi
yang ada di lingkungan keluarga berpengaruh terhadap perkembangan depresi pada
anak dan remaja (Sheeber et al., 1997; dalam Wenar & Kerig, 2008). Anak
yang depresi dijelaskan bahwa keluarga mereka penuh dengan konflik, negatif,
dan kurangnya kontrol, kohesif atau kedekatan serta dukungan (Kaslow, Deering,
& Racusin, 1994; dalam Wenar & Kerig, 2008).
-
Parental Loss
Kehilangan
orang tua memberikan pengalaman yang berefek pada fungsi dalam diri anak dan
berisiko terjadinya depresi. Dalam sebuah penelitian, depresi terjadi 2 kali
lebih tinggi pada perempuan yang memiliki pengalaman traumatik berpisah dengan
ibunya, misalnya dilupakan, disakiti, atau dibuang/ditinggalkan, kemudian
berpisah karena meninggal atau karena adanya suatu penyakit ataupun perceraian
(Brown, Bifulco, & Harris, 1987; dalam Wenar & Kerig, 2008).
-
Children of Depressed Mothers
Sekitar
40% anak dengan ibu yang depresi didiagnosa juga akan mengalami depresi. Dalam
sebuah penelitian yang mengindikasikan efek dari maternal depression
dilihat dari gender, dikatakan ibu yang mengalami depresi risiko dari
perkembangan depresi tersebut menunjukkan bahwa anak perempuan lebih tinggi
daripada anak laki-laki (Sheeber, Davis, & Hops, 2002; dalam Wenar &
Kerig, 2008). Namun ada pendapat bahwa tidak benar adanya transmisi depresi
antargenerasi dari orang tua ke anak. Meskipun mungkin saja faktor penyebabnya
adalah genetik, tetapi penyebab lain yang lebih berpengaruh adalah gaya
pengasuhan orang tua pada anak (Wenar & Kerig, 2008).
- Sosial
Lingkungan
sosial yang kurang nyaman dapat menyebabkan seorang anak menjadi depresi.
Kurangnya kemampuan bersosialisasi dan merasa sendiri pada anak dapat menjadi
suatu penyebab juga terjadinya depresi (Harter & Marold, 1994; dalam Wenar
& Kerig, 2008) khususnya pada anak perempuan (Oldenburg & Kerns, 1997;
dalam Wenar & Kerig, 2008). Perilaku menyerang dan negatif yang berjauhan
dengan orang tua, kelompok sosial, dan guru akan menyebabkan konflik
interpersonal dan adanya penolakan. Penyerangan membuat anak melakukan
perlawanan dan perilaku negatif sehingga akan mempengaruhi perkembangannya,
termasuk pengalaman dari faktor sosial dan akademik. Kegagalan dan penolakan
akan menurunkan harga diri anak, sedangkan penolakan dari kelompok sosial akan
menurunkan kemampuan akademik, dan rendahnya tingkat harga diri anak
berasosiasi dengan timbulnya depresi pada anak juga pada remaja (Wenar &
Kerig, 2008).
- Budaya
Dalam
konteks budaya ini meliputi kemiskinan, life stress, dan ethnicity (Wenar
& Kerig, 2008).
- G. Asesmen
Proses
asesmen digunakan untuk menyadari adanya simptom depresi pada seorang anak
(dilakukan pada anak, orang tua, dan guru). Kazdin (1990, dalam Walker, 1992)
menyatakan bahwa orang tua adalah sumber utama dalam menggali informasi
pengetahuan mengenai anak, yaitu perilaku depresi anak, setting waktu
dan tempat perilaku depresi muncul, penyebab depresi, dan dalam menentukan
bentuk penanganan yang akan diberikan kepada anak.
Pengukuran
self-report pada anak yang mengalami depresi dapat ditunjukkan dari
korelasi antara variabel perilaku bunuh diri dan ide melakukam bunuh diri,
keputusasaan, self-esteem yang rendah, atribusi negatif, dan kesalahan
pola asuh orang tua (adanya penganiayaan) (Haley, Fine, Marriage, Moretti,
& Freeman, 1985; Kazdin, French, Unis, Esveldt-Dawson, 1983; Kazdin,
French, Unis, Esveldt-Dawson & Sherick, 1983; Kazdin, Moser, Colbus, &
Bell, 1985; Sacco & Graves; 1984; dalam Walker, 1992).
Metode
Asesmen
Data self-report,
wawancara klinis (terstruktur dan semi-terstruktur), observasi perilaku, peer
report, dan laporan lain (orang tua dan guru) adalah instrumen untuk
melakukan asesmen (Walker, 1992). Asesmen depresi pada anak harus melibatkan interview
dengan anak beserta orang tua atau pengasuh (caregiver). Informasi dari
orang tua pun terkadang belum cukup, karena informasi yang diberikan dapat
dipengaruhi oleh mood. Sehingga ada baiknya juga mencari informasi dari
informan lain seperti guru (Ball, Rice, & Thapar, 2000).
Asesmen
pada anak yang dilakukan dalam proses interview menurut Ball, Rice,
& Thapar, (2000):
-
Bagaimana perilaku yang muncul? Bagaimana dia berhubungan dengan orang lain?
-
Mengobservasi suasana hati. Apakah dia sedih, menarik diri, atau cepat marah?
-
Apakah ada pikiran untuk bunuh diri?
-
Menilai isi pikirannya, termasuk citra diri, rasa bersalah, merasa tak
berharga.
-
Memeriksa keyakinan yang abnormal, pikiran dan halusinasi.
-
Apakah anak menganggapnya sebagai masalah? Apakah dia mau membantu?
Salah
satu self-report yang digunakan dapat digunakan untuk melakukan asesmen
depresi pada anak adalah Children’s Depression Inventory (CDI). CDI
dikembangkan oleh Konvacs (1981, 1985; dalam Walker, 1992) dan telah
dimodifikasi menjadi Beck Depression Inventory (BDI; Beck,
Ward, Mendelson, Mock, & Erbaugh, 1961; dalam Walker, 1992). CDI terdiri
dari 27 item kuisioner yang didesain untuk mengukur perilaku, pikiran, atau
perasaan yang dapat mengindikasikan depresi pada anak (contohnya, kesedihan,
tidur, atau gangguan nafsu makan). CDI dapat mengasesmen respon-respon anak
yang kemudian dapat diindikasikan apakah anak memiliki simpton depresi atau
tidak. Perilaku yang terindikasi tersebut sekurang-kurangnya terjadi selama 2
minggu terakhir (Walker, 1992).
Sampel
item Children’s Depression Inventory (CDI) (Konvacs, 1985; dalam Walker,
1992):
- ____ I am sad once in a while.
____
I am sad many times.
____
I am sad all the time.
- ____ Nothing will work out for me.
____
I am not sure if things will work out for me.
____
Things will work out for me.
- ____ I do most things OK.
____
I do many things wrong.
____
I do everything wrong.
- ____ I have fun in many things.
____
I have fun in some things.
____
Nothing is fun at all.
- H. Intervensi
- a. Pharmacotherapy
Dalam sebuah
studi diindikasi bahwa anti depresan (SSRI) dapat mengurangi gejala depresi
pada anak. Namun dalam pemakaian SSRI pada anak di mana terjadi kejadian yang
tidak diinginkan maka akan memberikan efek seperti kegelisahan dan iritasi,
gangguan tidur (insomnia), gastrointestinal discomfort, mania,
dan juga reaksi psikotik (De Vane & Sallee, 1996; dalam Wenar & Kerig,
2008). Dilaporkan juga terdapat peningkatan pemikiran untuk bunuh diri pada
anak yang mengonsumsi antidepresan sekitar 2-3% (U.S. Food and Drug
Administration, 2004; dalam Wenar & Kerig, 2008).
- b. Psikoterapi dengan pendekatan psikodinamika
Tritmen
psikodinamika untuk depresi ini fokus terhadap masalah yang mendasar pada
kepribadian. Tujuan dari terapi ini adalah untuk mengurangi self-critism
dan negative self-representations serta membantu anak untuk berkembang
lebih baik dalam menyesuaikan dengan defense mechanism yang mungkin akan
terus berlanjut pada perkembangan emosionalnya. Dengan anak yang lebih muda,
terapi dilakukan fokus terhadap perubahan cara pandang anak agar dapat
menggunakan kognitifnya secara dewasa dengan cara diskusi. Dari sebuah
penelitian, hasilnya menyatakan jika tritmen ini dirasa efektif khususnya dalam
mengatasi masalah seperti depresi dan kecemasan (Wenar & Kerig, 2008).
- c. Terapi kognitif-perilaku
Terapi
untuk anak yang depresi ini merupakan terapi yang sangat efektif (Stark et al.,
2000; dalam Wenar & Kerig, 2008). Intervensi yang termasuk role-playing
ini adalah untuk mengajarkan diri si anak mengenai hubungan interpersonal dan
teknik dalam menyelesaikan masalah, kognitif yang positif dibangun kembali
untuk menjawab pemikiran yang salah dan bagaimana teknik penguatan dalam diri
(Wenar & Kerig, 2008).
- d. Terapi Interpersonal
Tindakan
interpersonal yang diasumsikan karena adanya gangguan dalam hubungan diprediksi
sebagai inti dari depresi, di mana juga adanya psychopatology yang
berkembang. Interpersonal Therapy (IPT) bertujuan membantu individu
mengembangkan kemampuannya secara lebih baik dalam mengartikan dan meniru
masalah interpersonal pada suatu laporan, fokus pada intervensi (Wenar &
Kerig, 2008).
- e. Terapi Keluarga
Dujovne,
Barnard, and Rapoff (1995; dalam Wenar & Kerig, 2008) memeriksa kefektifan
beberapa tritmen yang berbeda pada depresi masa anak-anak. Mereka menyimpulkan
jika tritmen keluarga sangat memerlukan pertimbangan, memberikan tugas di suatu
situasi keluarga, hubungan antara anak dengan orang tua, dan depresi pada orang
tua yang berkembang sebagai suatu gangguan yang beragam. Konsisten dengan
penelitian tersebut, Lewinsohn’s (1996; dalam Wenar & Kerig, 2008)
menemukan bahwa keefektifan intervensi cognitive-behavioral pada anak
depresi dipertinggi dengan menghadirkan intervensi dari orang tua (Wenar &
Kerig, 2008).
Intervensi
pada anak ini dilakukan dengan terapi individu dan grup dalam meningkatkan
emosi positif dan memunculkan harapan, merestrukturisasi kembali gangguan schemata
dan mempertinggi kemampuan sosialnya. Intervensi bertujuan mengurangi segala
efek yang menimbulkan stress termasuk efek dari lingkungan yang dapat
berkembang menjadi depresi (Wenar & Kerig, 2008).
Menurut
Ball, Rice, & Thapar (2000), intervensi yang dapat dilakukan pada anak yang
mengalami depresi adalah:
-
Initial management
Keterlibatan
anak dan keluarga sangat penting dan merupakan aliansi teraputik efektif yang
harus dibangun terlebih dahulu pada awal treatment. Initial management
meliputi 3 strategi utama. Pertama, edukasi tentang depresi, manifestasi klinis
dan treatment, serta harus melibatkan anak, keluarga, dan mendapatkan
ijin dari sekolah. Kedua, mengidentifikasi stressor atau masalah yang
menjadi pemicu. Ini harus ditangani dengan intervensi yang baik atau pendekatan
problem solving terstruktur. Ketiga, jika depresi itu ringan, dapat
dilakukan pendekatan dengan mengadakan pertemuan rutin dengan diskusi yang
simpatik bersama anak dan keluarganya, dan memberikan dukungan. Pada kasus lain
dengan depresi yang lebih berat lebih difokuskan pada bentuk treatment
yang dibutuhkan.
-
CBT
CBT
merupakan pendekatan terstruktur yang bertujuan untuk memonitor dan menantang
depresi kognitif, untuk meningkatkan aktivitas, untuk meningkatkan jumlah
kejadian positif dan interaksi dalam kehidupan anak, dan menggunakan self
reinforcement untuk mengkonsolidasikan coping skill.
Secara keseluruhan, CBT bertujuan untuk memperbaiki perasaan (mood)
dengan memodifikasi kognisi yang depresi dan pola prilaku. CBT bisa dilakukan
pada anak dengan depresi ringan atau sedang, tetapi tidak pada depresi berat. CBT
juga efektif untuk mencegah kekambuhan.
-
Antidepressant medication
Terdapat
sejumlah penelitian penggunaan anti depresan pada anak-anak dan remaja.
Meskipun banyak penelitian menyarankan penggunaan anti depresan seperti imipramine
dan amitriptyline yang mampu menurunkan depresi (hanya dilakukan pada
jumlah sampel yang kecil). Tricyclic anti depresan tidak
direkomendasikan pada awal treatment karena tidak lebih efektif daripada
placebo. Lebih jauh lagi, dapat beresiko pada overdosis, sehingga
sekarang jarang digunakan.
Medikasi
lain dengan penggunaan serotonin re-uptake inhibitor
(SSRI) anti depresan seperti fluoxetine. SSRI harus digunakan pada lini
pertama terapi anti depresan, dipertimbangkan untuk depresi berat atau kronis
dan yang tidak mampu merespon CBT.
-
Intervensi lain
Intervensi
lain yang bisa dilakukan seperti pelatihan keterampilan sosial dan terapi
keluarga. Keterampilan sosial melibatkan pelatihan keterampilan interpersonal
untuk meningkatkan interaksi sosial positif. Terapi keluarga bertujuan untuk
memodifikasi pola interaksi keluarga dan sistem kepercayaan keluarga.
Menurut
Wagner, et al (2004), hasil penelitian mereka menyatakan bahwa gejala
depresi mayor pada anak dapat dikurangi dengan penggunaan cythalophram.
Cythalophram adalah obat antidepresan dari serotonin re-uptake
inhibitor (SSRI). Kemudian Harrington, Whittaker, & Shoebridge
(1998), menyatakan hasil penelitian yang mereka dapatkan adalah intervensi
psikologi yang dilakukan secara individu akan lebih efektif untuk
membantu anak dengan gejala depresi daripada terapi keluarga. Terapi
kognitif-behavioral dinilai lebih efektif untuk mengatasi simptom depresi serta
gangguan depresi ringan.
Usaha
untuk mencegah perkembangan depresi pada masa kanak-kanak adalah fokus pada banyaknya
risiko, yaitu anak dengan ibu yang depresi. Shochet & Dadds, (2001; dalam
Wenar & Kerig, 2008), mengembangkan intervensi dengan 11 sesi yang
dinamakan RAP (Resourceful Adolescent Program) yang manggabungkan banyak
elemen yang menjamin terapi kognitif-perilaku (CBT) (misalnya, membangun
kembali pemikiran positif, penegasan kekuatan yang ada) sebagai target risiko
interpersonal dan keluarga dan faktor pelindung. Kondisi tritmen kedua
digabungkan dengan RAP dengan 3 sesi orang tua yang diharapkan dapat mengurangi
konflik keluarga dan meningkatkan kehangatan dan respon serta rasa bertanggung
jawab orang tua pada anak (Wenar & Kerig, 2008)
BAB III
KASUS PEMBAHASAN
- A. Kasus
Anna
Thompson adalah seorang anak Amerika-Afrika berusia 10 tahun. Ana mendatang
dokter karena diminta oleh ibunya, Mrs. Thompson, yang memergoki Anna sedang
melukai pergelangan tangannya dengan pisau. Dokter mengatakan bahwa Anna tidak
mengalami luka serius dan merekomendasikannya pergi ke psikiatri rumah sakit
untuk mendapat evaluasi. Mendapati anaknya mengalami gangguan perasaan, yakni
depresi, Mrs. Thompson menyetujui untuk mengikuti tritmen jangka pendek. Hari
berikutnya psikiatris melakukan proses wawancara dengan Anna mengenai gangguan
perasaannya.
Pada
awalnya, Anna ragu-ragu untuk bercerita dan merasa marah kepada ibunya karena
memintanya untuk melakukan ini. Anna bercerita bahwa ia baru saja pindah ke
sekolah baru mengikuti ibunya yang bercerai. Di sekolah baru, Anna merasa bahwa
ia tidak disukai temannya. Ia kecewa adanya diskriminasi sehingga ia hanya
dapat membangun hubungan baik dengan sedikit teman. Teman-teman menghina
dirinya karena ia memiliki tubuh yang gendut. Di sekolah, ia selalu makan siang
sendirian.
Selama
13 bulan terakhir Anna mengalami masa sulit. Orang tuanya berkonflik hingga
akhirnya bercerai. Ibunya kemudian membawanya pindah, memisahkan dirinya dengan
ayah dan adik laki-lakinya yang berusia 6 tahun. Peristiwa ini membuatnya
trauma karena Anna sangat dekat dengan ayah dan adiknya namun sekarang ia tidak
diperbolehkan untuk menghubungi mereka. Anna pindah ke sekolah baru pada bulan
awal Agustus dan sekarang sudah memasuki akhir September. Selama 2 minggu
terakhir, Anna tidak mau masuk sekolah. Anna mengeluh bahwa ia merasa kesepian
karena ibunya terlalu sibuk bekerja dan di sekolah ia tidak punya teman.
Selama
2 minggu, mood Anna memburuk. Ia benar-benar merindukan keluarganya
seperti dahulu. Ia mengeluh tidak bisa merayakan Thanksgiving dengan ayah dan
adiknya (ibunya mengatakan bahwa itu tidak mungkin). Akhirnya, Anna menjadi bad
mood dan suka berbohong, ia menghabiskan waktunya dengan menonton televisi,
internet, dan chatting. Di seminggu terakhir Anna hanya keluar rumah
sebanyak dua kali dan selebihnya menghabiskan waktu dengan banyak makan dan
banyak tidur. Ibunya telah berusaha kerasa berbicara dengannya selama 2 minggu
terakhir. Ketika berhasil mengajak berbicara, ibunya membujuk Anna untuk
kembali bersekolah.
Saat
Anna melukai dirinya, Anna bercerita bahwa ia sedang merasa sedih dan
bertanya-tanya bagaimana jika ia berniat untuk bunuh diri. Ia membayangkan
bagaimana perasaan keluarganya dan siapa saja yang akan mendatangi
pemakamannya. Anna mengatakan bahwa ia tidak optimis dengan masa depannya dan
menganggap bahwa bunuh diri adalah pilihan terbaik. Akhirnya ia mengambil pisau
dan membuat goresan kecil, kemudian ibunya masuk ke kamarnya. Melihat
pergelangan tangannya berdarah, ibunya berteriak ketakutan. Anna langsung
dibawa ke unit darurat.
Psikiatris
bertanya apakah Anna mempunyai niatan untuk melukai dirinya kembali, Anna
menjawab tidak. Anna menjelaskan bahwa dirinya tidak mau bunuh diri. Ia
kemudian berkata ingin menginggalkan unit dan ingin bertemu dengan ibunya. Anna
berjanji bahwa ia tidak akan melukai dirinya dan akan bercerita kepada
psikiatris jika ada pikiran untuk bunuh diri atau perilaku impulsif lainnya.
Psikiatris kemudian memberi Anna obat sedative ringan.
Psikiatris
mewawancarai ibu Anna, Mrs. Thompson. Mrs. Thompson mengatakan bahwa ia dan
suaminya memiliki banyak perselisihan, khususnya mengenai kebiasaan minum
alkohol dan status sosial ekonomi suaminya. Mrs. Thompson pernah memergogi
suaminya sedang tidur di sebelah Anna di kamar Anna. Mrs. Thompson mencurigai
bahwa Anna telah menjadi korban penganiayaan seksual oleh ayahnya. Namun Anna
menolak, ia mengatakan bahwa ia ayah tidak melakukan hal tersebut. Akibatnya,
Mrs. Thompson merasa bahwa ia harus membawa Anna pergi. Mrs. Thompson juga
memisahkan Anna dengan adiknya karena merasa bahwa adiknya tidak pernah patuh.
Mrs. Thompson memiliki hubungan yang kurang dekat dengan adik Anna.
Mrs.
Thompson mengakui bahwa dirinya terlalu sibuk bekerja di kantor dan tidak
memberikan perhatian yang cukup pada Anna. Walaupun begitu, mereka berdua
selalu menghabiskan waktu berdua di akhir minggu, meski hal tersebut tidak
terjadi di 3 minggu terakhir. Mrs. Thompson juga melaporkan bahwa sekarang Anna
sudah sedikit berkomunikasi dengan ayah dan adiknya. Anna sudah tidak masuk
sekolah 2 minggu dan gagal dalam menjalin hubungan pertemanan. Mrs. Thompson
tahu bahwa Anna memiliki masalah dengan berat badannya, Anna merasa malu dan
frustasi. Mrs. Thompson mengatakan bahwa dirinya sangat shock saat
menemukan Anna melukai dirinya. Kemungkinan bunuh diri tidak pernah terpikirkan
oleh Mrs. Thompson.
Dengan
ijin Mrs. Thompson, psikiatris juga berbicara dengan konselor di sekolah Anna.
Mrs. Deetz, merasa sedih dengan kondisi Anna dan mengungkapkan Anna sudah
memiliki niat untuk bunuh diri sebulan sebelumnya. Saat itu, tiba-tiba Anna
mendatangi kantor Mrs. Deetz dan mengeluh bahwa dalam pelajaran olahraga
teman-teman mengolok-olok berat badannya. Anna menangis, mengatakan bahwa ia
tidak mau punya teman lagi dan berkata, “Aku berharap aku mati”. Mrs. Deetz
kemudian mengganti jadwal Anna, sehingga Anna tidak apa-apa tidak datang dalam
pelajaran olahraga dan merekomendasikan kegiatan ekstrakurikuler lain. Anna
menolak karena tidak mau mendapat perlakuan diskriminasi lagi. Mrs. Deetz
mengatakan bahwa Anna terlalu fokus dengan penolakan dari teman-temannya.
Psikiatris
kembali mewawancari Anna pada hari berikutnya dan mendapat laporan bahwa Anna
tidak berpikiran ingin bunuh diri atau berperilaku impulsif. Psikiatris
memberikan obat anti depresan dengan dosis rendah dan meminta Anna untuk
mengikuti sesi terapi kelompok di pagi dan sore hari. Anna setuju, dan
psikiatris mencatat perkembangan mood dan perilakunya. Psikiatris
mencurigai bahwa Anna mengalami major depressive episode dan perlu
dijaga untuk tidak menonton tayangan mengenai bunuh diri.
- B. Analisis Kasus
Asesmen
Acccording
dsm, the essential feature of a major depressive episode is “a periode of at
least two weeks during which there is either depressed mood or the loss of
interest or pleasure in nearly all activities. In children and adolescents, the
mood may be iritable rather than sad” (American Psychiatric Association, 2000,
p. 349; dalam Kearney, 2006). During two week period, the person must
experience five of the following symptoms to qualify for the disorder: constant
depressed mood, lack of interest in previously enjoyable activities,
significant weight loss or gain, difficulty sleeping or oversleeping each day,
restlessness or feeling slowed down, daily fatigue, feelings of inappropriate
guilt or worthlessness, difficulty concentrating or making dacidions, and
suicidal thoughts or attempts.
Pada
kasus ini, Anna telah menunjukkan banyak simptom depresi. Contohnya, adanya
gangguan perasaan (mood) dalam sebulan terakhir, dan dia tidak
melakukan aktivitas yang menyenangkan. Anna tidak menunjukkan perilaku
menghargai berat badannya karena ia justru banyak makan dan banyak tidur.
Aktivitas itu juga dapat disebut hypersomnia, di mana seseorang yang
depresi ini ingin meloloskan diri dari aversive hidupnya. Di samping itu, Anna
sering merasa semakin lamban, capek, dan merasa bersalah atas perceraian orang
tuanya. Anna tidak mengalami kesulitan berkonsentrasi karena dalam 2 minggu
terakhir Anna tidak datang sekolah. Jika semua simptom depresi dikombinasikan,
akan muncul adanya pikiran untuk bunuh diri oleh Anna yang kemudian hal ini
akan memimpin psikiatris dalam melakukann diagnosis awal.
Asesmen
depresi pada anak-anak dapat melalui berbagai bentuk, yaitu tes laboratorium,
wawancara, pengukuran self-report, dan observasi. Anna adalah
sseorang pasien rumah sakit, sehingga banyak tes-tes biologis yang dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kondisi depresi Anna. Proses wawancara dapat
mengungkap kemungkinan depresi klien dengan lebih mendalam. Psikiatris tidak
hanya memperoleh tetapi juga dapat mengembangkan hubungan dengan Anna yang pada
awalnya enggan bercerita.
Dalam
kasus ini, terdapat perasaan dan perilaku Anna yang sesuai dengan Children’s
Depression Inventory (CDI), yaitu:
- I am sad all the time.
- I want to kill myself.
- I feel like crying every day.
- I feel alone all the time.
- Nobody really loves me.
Ketika
Anna datang kepada psikiatri, skor CDI Anna berada dalam tingkat klinis, yaitu
27. Anna menyatakan dirinya merasa sedih, kesepian, dan tidak termotivasi. Anna
juga merasa putus asa, perhitungan ini menggunakan Hopelessness Scale for
Children (Thurber, Hollingsworth, & Miller, 1996; dalam Kearney, 2006).
Di mana terdapat 17 item benar-salah yang menyatakan perasaan seseorang
mengenai masa depan.
Pada
proses observasi, psikiatri melihat:
- Ekspresi wajah yang sedih.
- Kurangnya interaksi sosial dan gerakan motorik, seperti sedikit berbicara, bermain sendiri, atau tertarik dengan hal lain.
- Perilaku mengurung diri yang berlebihan, seperti membaca atau menonton TV.
- Suara pelan.
- Kurangnya kontak mata.
- Membantah.
- Ekspresi wajah yang ditunjukkan adalah mengerutkan dahi, mengeluh, dan sedikit senyum.
Asesmen
lain yang dapat dilakukan adalah dengan bertanya pada teman-teman sebayanya
atau orang dewasa terdekatnya (Hintze, Stoner, & Bull, 2000; dalam Kearney,
2006). Asesmen tidak dapat dilakukan dengan mencari tahu dari teman-teman
sebaya Anna, karena tidak ada teman yang tahu Anna dengan baik. Karenanya, Mrs.
Thompson melakukan rating menggunakan Child Behavior Checklist (Achenbach
& Rescorla, 2001; dalam Kearney, 2006) dimana didapatkan hasil tingginya
peringkat kesepian, kesedihan, menangis, dan merasa bersalah.
- C. Penanganan
Terapi
dilakukan untuk mengurangi munculnya simptom depresi berat, ide bunuh diri, dan
perilaku impulsif. Selain terapi individual juga dilakukan terapi keluarga,
terapi kelompok, dan terapi lingkungan dengan diberikan pula obat antidepresen.
Terapi lingkungan diberikan untuk menumbuhkan adanya dukungan kepada Anna
sehingga dapat menumbuhkan rasa percaya diri Anna. Psikiatris, perawat, dan
anggota staf rumah sakit adalah lingkungan yang akan memberikan Anna dukungan.
Terapi kelompok fokus membangun dukungan sosial yang baik, adanya proses
interaksi, dan untuk mengembangkan ketrampilan menyelesaikan masalah (Kashani
& McNaul, 1997). Terapi kelompok diisi dengan diskusi, sharing,
saling memberi dukungan, dan saling berbagi. Terapi keluarga, mengikutsertakan
semua keluarga untuk berartisipasi dalam memberikan kehangatan keluarga pada
Anna. Tidak hanya ibu, tetapi juga ayah, dan adik laki-lakinya. Adanya
komunikasi yang aktif dan adanya kegitan yang dilakukan secara bersama dalam
memunculkan harapan dan menghilangkan stressor.
Kemudian
saat Anna sudah dapat kembali di rumah, terapi yang dapat dilakukan bersama
ibunya adalah saling berdiskusi mengenai tujuan yang akan dicapai, kapan Anna
kembali bersekolah, mengembangkan kemampuan bersosialisasi, memperbaiki suasana
perasaan (mood), dan menurunkan berat badan. Mrs. Thompson harus lebih
meluangkan waktunya untuk bersama dengan Anna. Selain itu, diperlukan pula
bantuan psikologi untuk meningkatkan self-esteem dan ketrampilan sosial.
Anna diajarkan bagaimana cara berkenalan dengan orang baru, menjalin hubungan
pertemanan, cara berinteraksi, menyusun kata-kata, perilaku nonverbal, dan
bermain dengan teman-temannya. Serta adanya penanganan psikologis, yaitu terapi
kognitif-behavioral dan psikoterapi interpersonal (Alloy, Riskind, & Manos,
2005).
Terapi
kognitif-perilaku, dengan cara role-playing, mengajarkan diri anak
mengenai hubungan interpersonal (menjalin hubungan dalam keluarga dan
teman-teman yang baik) dan teknik dalam menyelesaikan masalah (menghilangkan
perasaan sedih, kesepian, putus asa, pikiran bunuh diri, atau ingin melakukan
perilaku impulsif), kognitif yang positif dibangun kembali untuk menjawab
pemikiran yang salah (bahwa bertubuh gendut itu tidak jelek) dan bagaimana teknik
penguatan dalam diri. Juga di lakukan CBT dengan menggunakan self-reinforcement,
coping skill, dan memperbaiki suasana perasaan (mood).
Selain
itu, pihak keluarga Anna dapat berkerja sama dengan sekolah untuk melakukan
pencegahan bunuh diri, yaitu dengan membuat program school-based suicide
prevention. Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan kesadaran
akan permasalahan bunuh diri, membantu anak-anak yang bermasalah sehingga
konselor sekolah pun dapat melakukan penanganan dengan tepat (Wenar, 2000).
DAFTAR PUSTAKA
Alloy,
L. B., Riskind, J. H., & Manos, M. J. (2005). Abnormal Psychology.
New York ; McGraw-Hill Companies, Inc.
Ball,
C., Rice, F., & Thapar, A. (2000). Childhood Depression: Why Is Depression
and Why Is It Important to Recognize?. Journal Current Peadiatrics, 10:
259-263.
Harrington.
R., Whittaker, J., & Shoebridge, P. (1998). Psychological Treatment of
Depression in Children and Adolescent: A review of Treatment Research. The
British Journal of Psychiatry, 173: 291-298.
Hazel,
Philip. (2002). Depression in Children. BMJ, 325: 229–230.
Kearney,
C. S. (2006). Casebook in Child Behavior Disoders 3rd Edition. Canada:
Thomson Wadsworth.
Wagner,
et al. (2004). A Randomized, Placebo-Controlled Trial of Citalopram
for the Treatment of Major Depression in Children and Adolescents. American
Journal of Psychiatry, 161: 1079-1083.
Walker,
C. G., & Robert, M. C. (1992). Handbook of Clinical Psychology Second
Edition. Canada: John Wiley & Sons.
Wenar,
C. (1994). Developmental Psychopathology From Infancy through Adolescence.
United States: McGraw-Hill, Inc.
Wenar,
C., & Kerig, P. (2000). Developmental Psychopathology: From Infancy
Through Adolescense Fourth Edition. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
Wenar,
C., & Kerig, P. (2008). Developmental Psychopathology: From Infancy
Through Adolescense Fifth Edition. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
Depresi pada anak harus diatasi, kesehatan juga harus dijaga bisa dilihat cara nya dari https://www.cekaja.com/info/manfaat-sereh-bagi-kesehatan/
BalasHapus